Penulis: Puput Julianti Damanik
SERDANG BEDAGAI (HARIANSTAR.COM) – “Kami meneruskan tradisi, menganyam dengan motif turun-temurun. Iconnya itu ada Tiga Dara, perpaduan merah, hijau, orange kekuningan khas warna Serdang Bedagai kemudian ditutup putih dan ungu. Produk dengan motif ini sudah kami jual sampai ke Amerika, motif ini khas punya kita, punya Sumatera Utara”.
Kalimat ini disampaikan Eva Harlia mengawali pembicaraan saat rombongan jurnalis dan blogger memadati galerinya Menday Gallery and Souvenir di Dusun 3, Pantai Cermin Kanan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai belum lama ini.
Eva Harlia tampak bersemangat, satu persatu pertanyaan dijawab tanpa jeda, di tangannya ada selembar pandan yang sudah dikeringkan. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada beberapa lembar daun pandan laut mentah yang baru saja ia petik untuk ditunjukkan kepada para tamu yang datang. Ia total dalam berbagi informasi.
Dua perajin Menday Gallery Asmaria (75 tahun) dan Rahimah (60 tahun) juga turut menjawab ragam pertanyaan jurnalis dan blogger meski tangannya terus menjalin bilah-bilah pandan yang disusun dengan arah yang berbeda-beda.
“Itu bahan baku anyaman kita pandan laut, daunnya tebal dan berduri, ini hasilnya setelah dikeringkan. Hari ini juga ada perajin kita yang skill menganyam dan semangatnya luar biasa. Teknik anyamannya, kerapiannya tak ada yang bisa mengimbangi,” ujar Eva.
Eva mengaku sudah biasa menerima kunjungan tamu dari kelompok ibu-ibu, anak sekolah dan lainnya yang sekedar ingin tahu proses pembuatan produk anyaman di galerinya. “Saya juga rutin keluar buat kasih edukasi dan pelatihan, kadang kami ke Karo, Nias, Humbahas dan Samosir,” ujarnya.
Di halaman samping galeri, tampak tumpukan daun pandan kering siap dimasukkan ke dalam wadah panas yang telah diberi warna. “Ini proses pewarnaannya, ada 15 motif warna yang jadi ciri khas Menday Galeri, Tiga Dara jadi andalan,” ujar Eva.
Sampai ke Amerika, Eva Patenkan Tiga Dara ke HaKI
Dengan percaya diri, Istri dari Misridi ini kembali memastikan produk anyaman tikar motif Tiga Dara sudah mendunia, terjual sampai ke Amerika. “Tikar dengan motif Tiga Dara sudah sampai ke Amerika, pengiriman awal saat itu berjumlah 50 lembar,” katanya bersemangat.
Eva tak menyangka, usaha turun-temurun yang dilanjutkannya sejak 2010 lalu dari ibu kandungnya Yulia yang juga diteruskan dari neneknya Jatiah mulai tembus pasar ekspor, padahal sebelumnya tradisi menganyam di kampungnya sudah dianggap usang dan mulai ditinggalkan. Bahkan untuk melanjutkan usaha ini, Eva hanya punya modal Rp500 ribu untuk membeli kebutuhan bahan baku saat itu.
Eva berhasil melanjutkan tradisi peninggalan nenek dan ibunya dengan mengembalikan akar-akar seni tradisi sebagai sumber-sumber bagi seni yang lebih luas. Ia pun berusaha terus menggali dan mengembangkan anyaman menjadi sesuatu yang lebih menarik karena seni sebenarnya mampu menciptakan keanekaragaman.
Tembus pasar global membuat Eva terpacu, tidak hanya Tiga Dara, Ia mengaku terus mengumpulkan motif asli dan filososfinya dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) motif-motif anyaman khas dari tanah kelahirannya Serdang Bedagai.
“Saat ini masih dalam proses pembukuan corak, tahapan mengumpulkan motif asli dan filosofinya dengan menggali informasi dari orang orang tua kami. Biar akan kelihatan siapa deluan penemu motif-motif ini. Selain Tiga Dara, ada Emping Tumpah, Asoi, Tapak Kucing, ada 15 corak yang lagi kami galih di lapangan,” ujarnya.
Stop Stigma, Berdayakan Perempuan
Capaian Eva bukan hanya membawa tikar dengan motif Tiga Dara sampai ke Amerika, produk seperti tas, dompet, sendal dan lainnya dengan motif by custom juga sudah melanglang buana, mulai dari dalam negeri hingga ke luar negeri, ada ke Singapura, Dubai hingga ke Yunani.
Eva menebus batas ketidakmampuannya. Ia seolah-olah seperti oase di tengah gurun samudera. Perempuan di kampungnya berdaya, geliat ekonomi pun terbilang sesuai target ibu dari tiga anak laki-laki ini selain melanjutkan warisan, seni tradisi menganyam dari nenek dan ibunya.
Capaian ini tidak akan terwujud tanpa adanya tangan-tangan hebat dari 35 perempuan di timnya. “Saat ini tim saya ada 35 orang, ada yang menganyam, ada yang menjahit, ada juga yang khusus memecahkan corak dari foto ke anyaman karena banyak yang pesan coraknya sesuai seleranya dan mereka cuma kasih foto saja.” ujar Eva.
Dilanjutkan Eva, 35 perempuan hebat ini hampir rata-rata adalah ibu rumah tangga yang punya kewajiban mengurus rumah dan anak. Tentu, lanjutnya kondisi ini sempat menjadi tantangan besar apalagi stigma wanita keluar rumah selalu negatif dipandang di kampungnya.
“Kendalanya stigma negatif, rongrongan dari para suami, di masyarakat khususnya kampung kami ini perempuan keluar rumah itu gak baik, anggapan tak baik secara emosional malu kalau perempuan punya penghasilan. Dulu awal-awal kitakan beberapa kali pelatihan ke Medan, ke Jakarta, nginap hotel itu negatif, itu yang sempat kami lalui, saya bahkan pernah dinasehati kelurga, sempat ribut,” ujar Eva mengisahkan.
Tapi lanjut Eva, setelah konsisten, stigma tersebut mulai memudar. “Kemarin itu masalahnya siapa urus anak, siapa yang masak, tapi saya jelaskn pelan-pelan ke suami, saya konsen dan jalan terus dan alhamdulilah mulai nampak hasilnya, suamipun mulai mendukung, bahkan kalau ada kunjungan dari mana gitu ke sini, semua semangat. Alhamdulilah sekarang sudah bisa berbagi tugas begitu juga dengan rekan-rekan saya yang lain,” kata Eva.
Eva terus mengupdate diri, Ia mulai rajin mencari informasi berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan produk seni anyaman. Menday Gallery mulai dikenal dan mulai rajin ikut pameran.”Saat pameran kami banyak jumpa eksportir, di situ kita mulai punya langganan hingga ke luar negeri. pertama kali dahulu ke Singapura,” jelasnya.
Penghasilan dari menganyam, lanjut Eva mulai dirasakan manfaatnya. Dalam sebulan, semua personil di Menday Gallery bisa menerima upah Rp2,1 juta.
“Dulu untuk biaya sekolah anak susah, sekarang terbantu. sejauh ini kami tembus Rp 2,1 juta perbulan rata-rata pemasukan kawan-kawan. Kami fokusnya mau semua pekerja bisa dapat upah UMR ibu-ibu yang bekerja dari rumah. Kami tanya BI kalau Serdang Bedagai itu Rp 2,1 jadi kita mampu capai, kita upayakan Rp 70ribu rata-rata per hari. Kita sistem kerjanya borongan dan bisa dibawa ke rumah masing-masing,” terangnya.
Tak terbatas hanya upah bulanan, Eva mengaku setiap kali ada event bazar, timnya punya kesempatan menerima pemasukan yang lebih besar. “Kita rutin ikut bazar, langganan kami itu di event Inacraft, tahun lalu misalnya, di situ saja kita tembus transaksi Rp750 juta. Saat event ini, perajin kita bisa dapat Rp60 juta, produk yang disiapkan untuk event ini sudah dibuat sejak setahun lalu, dicicil,” ungkap Eva.
Pantai Cermin Kanan Jadi Pusat Wisata, Mandiri dan Berkelanjutan dengan KBA
Meski produknya sudah mendunia, Eva ternyata belum merasa pada tahapan sukses sepenuhnya sebelum dirinya bisa menggerakkan orang lain untuk peduli dengan pemberdayaan perempuan dan lingkungan.
“Saya belum sampai pada tahapan sukses, sebelum seluruh pengrajin anyaman pandan merasakan buah manis dari industri ini dan membuat orang merasa terpanggil untuk ikut serta dalam pemberdayaan perempuan berikut lingkungan di sekitar kami,” ujar Eva.
Mimpi ini pun diharapnya bisa terwujud bersama Kampung Berseri Astra (KBA). “Ada empat pilar mulai dari pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan kesehatan yang ada dalam program KBA. Kami buat proposal menyampaikan apa yang paling dibutuhkan kepada Astra. Sebelumnya ada pendampingan, perluasan akses permodalan, pemasaran kemudian tahun kedua bantuan bibit tanaman,” ujar Eva.
Sebagai tokoh penggerak KBA, Eva mengaku merasa puas dengan hasilnya, tapi dirinya berharap ke depan program dari KBA bisa lebih meluas sehingga Pantai Cermin Kanan tidak hanya dikenal sebagai wisata bahari saja.
“KBA Pantai Cermin Kanan merupakan wisata bahari tetapi goals kedepannya kami ingin seluruh wilayah KBA Pantai Cermin Kanan ini menjadi desa wisata menyeluruh baik itu sebagai pusat wisata kuliner, wisata sentra anyaman dan sebagainya, kita ingin Pantai Cermin Kanan ini lebih mandiri dan berkelanjutan,” harap Eva. (RED)