MENGENANG akhir November 2025, tanah air diselimuti duka yang mendalam.
Bencana alam kembali terjadi, tak hanya merenggut ratusan nyawa manusia tapi juga harta benda.
Awal mula akibat hujan yang terus menerus di bulan November 2025 yang mengakibatkan banjir yang menerjang wilayah Kabupaten Aceh Tamiang dan sejumlah wilayah Aceh.
Debit hujan yang tinggi sejumlah wilayah Aceh terdampak salah satunya wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, akibat banjir di sertai lumpur dan arus deras.
Di antara air yang meluap, warga juga dikejutkan ribuan gelondongan kayu berukuran kecil maupun besar yang ikut terseret ke permukiman warga Sijantung Desa Pengindam Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang serta terdampak di seluruh Aceh Tamiang.
Fenomena ini bukan sekadar ‘Kebetulan alam’. Ia adalah sinyal keras tentang bagaimana hutan-hutan yang digunduli secara permanen tanpa ada pengawasan dari pihak -pihak terkait
Hutan si Jantung yang selama ini menjadi benteng alam kian kehilangan kemampuannya untuk menahan curah air hujan.
Bahkan banjir kali ini juga membuat gempar beberapa wilayah di tanah air, dikarenakan banjir bandang.
Untuk mengungkap fakta terjadinya akibat banjir bandang di wilayah Aceh Tamiang yang di sertai kayu -kayu tim jurnalis Harianstar.com pada Kamis (18/12/2025) turun kelokasi terdampak banjir yang di sertai gelondongan kayu berserakan.
Mengungkapkan keserakahan manusia yang terus-menerus mengeksploitasi alam yang menjadi tempat tinggal ribuan makhluk hidup dan kaya akan sumber daya alam lainnya.
Ini membuktikan banjir yang terjadi bukan murni karena peristiwa natural dari alam melainkan campur tangan dari ulah manusia itu sendiri.
Akibat ini juga banyak tambang liar dan galian-galian batu di pinggir-pingir sungai dan gunung-gunung rusak yang juga menyebabkan bukit yang berada di pinggir sungai longsor
Di beberapa titik, beberapa warga Sijantung Desa Pengidam Kecamatan Badar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang yang selamat dari musibah banjir bandang mengatakan kepada tim di lokasi.
“Ini adalah lokasi yang kini dinamakan Desa yang hilang bak di telan bumi. Desa yang hancur tertimbun kayu kecil dan kayu gelondongan,” katanya.
Dan warga Desa Sijantung Aceh Tamiang serta warga yang di wilayah Kota Aceh Tamiang, mengaku tak pernah melihat banjir sebesar ini.
Namun yang paling mencuri perhatian adalah tumpukan kayu yang datang bersama air, seolah mengungkap apa yang selama ini terjadi jauh dari pandangan masyarakat.
Rumah -rumah hancur akibat diterjang air bercampur lumpur dan kayu-kayu yang berasal dari hutan Aceh Tamiang.
Yang sebelumnya pembalakan yang tidak terkendali, perambahan kawasan hutan Aceh Tamiang, dan lemahnya pengawasan di daerah hulu.
Statement yang mengatakan bahwa gelondongan kayu yang terbawa arus banjir bandang merupakan kayu yang lapuk namun ini merupakan kalimat yang salah.
Dikarenakan tidak mungkin gelondongan kayu yang terbawa arus ke permukiman desa.
Hal kejadian ini juga serupa, yang terjadi di wilayah Sibolga dan bukan peristiwa tunggal.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sumatra berkali-kali juga mengalami banjir besar yang selalu meninggalkan pola yang sama, daerah hulu kritis, tutupan hutan menurun, dan material kayu terbawa arus.
Dari Tapanuli hingga Padang, dari Mandailing Natal sampai Aceh Singkil, banjir besar kerap membawa cerita serupa, cerita yang menunjuk pada satu akar masalah eksploitasi hutan yang melampaui daya dukungnya.
Kembali kewilayah Aceh ,dampak hujan yang terus menerus di akhir bulan Nopember 2025, penyebab hujan deras disertai terjadi banjir bandang di lokasi hutan Sijantung Desa Pengidam Kecamatan Badar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang.
Diduga inilah titik terjadinya musibah banjir bandang yang terjadi di wilayah Aceh Tamiang
Gelondongan kayu yang muncul di tengah banjir disertai campuran lumpur menjadi bukti visual yang sulit dibantah.

Ketika kayu-kayu besar itu lolos dari hulu dan masuk ke aliran sungai, publik kembali diingatkan bahwa kerusakan ekosistem tidak pernah berdiri sendiri, ia selalu kembali ke masyarakat dalam bentuk bencana alam.
Fenomena ini juga memperlihatkan betapa pentingnya menelusuri ulang pola pengelolaan hutan, izin pemanfaatan kayu, hingga efektivitas pengawasan di lapangan.
Sebab banjir di wilayah Aceh Tamiang maupun di Sibolga Sumatera Utara bukan hanya soal cuaca ekstrem, ia adalah konsekuensi dari ruang hidup yang dikorbankan.
Di tengah tekanan publik serta derasnya kritik terkait kerusakan hutan Sumatra Utara dan Aceh Tamiang, pemerintah justru mengambil langkah yang jarang dilakukan selama bertahun-tahun, membuka pintu investigasi lintas lembaga.
Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa negara tidak lagi membiarkan permainan gelap di sektor kehutanan berlangsung tanpa akuntabilitas.
Kesediaan pemerintah menelusuri asal kayu gelondongan, memeriksa zona rawan, hingga menegur dinas terkait, menunjukkan bahwa birokrasi tidak sepenuhnya lumpuh, ia masih bisa bergerak progresif ketika krisis menuntut keberanian.
Di saat banyak pihak meragukan ketegasan negara, justru pada momen bencana inilah pemerintah menunjukkan sisi terbaiknya. Kemampuan berubah saat tekanan paling besar datang.
Bencana banjir yang membawa gelondongan kayu sebenarnya membuka ruang penting bagi negara untuk memperbaiki tata kelola hulu secara lebih struktural.
Pemerintah kini memiliki momentum untuk membereskan rantai distribusi kayu ilegal, memperkuat pemantauan hutan berbasis satelit, dan merapikan ulang perizinan yang selama ini menjadi celah bagi penjarahan sumber daya alam.
Jika momentum ini benar-benar dimanfaatkan, pemerintah tidak hanya hadir sebagai penyelamat saat krisis, tetapi juga sebagai arsitek perubahan jangka panjang.
Di sinilah kualitas negara diuji: mampu menjadikan bencana sebagai titik balik kebijakan, bukan sekadar rutinitas penanganan setelah rumah-rumah terendam.

Inilah pelajaran bagi manusia, agar ekosistim alam harus benar-benar dijaga.
Akibat ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab, banyak korban jiwa yang berjatuhan di wilayah Aceh Tamiang maupun di wilayah Sibolga Sumatera Sumatera.
Akibat ekosistem alam hutan yang rusak dan disertai hujan ekstrim, debit air naik dan arus air deras hingga terjadi banjir bandang di sertai bercampur lumpur, terjadi tanah longsor diikutsertakan terseret kayu yang berasal dari hutan Sijantung Aceh Tamiang.
Dampak musibah ini seluruh ke pemukiman Kabupaten Aceh Tamiang menjadi kerusakan yang tak terhitung.
Hal musibah ini terjadi akibat ulah manusia, orang -orang yang tak bertanggung jawab.
Pertanyaan hadir, siapa yang harus di persilahkan, pihak Daerah Aceh atau Pemerintah Pusat?
Tentu jawaban yang pasti, kesalahan ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari daerah setempat yang akibatnya masyarakat sekitar menjadi korban.
Banjir lumpur dan gelondongan kayu adalah jejak eksploitasi hutan yang tak bisa disangkal. (*)


























