MEDAN (HARIANSTAR.COM) – Salah satu komponen dalam upaya penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Sumatera Utara yaitu pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak untuk meningkatkan efektivitas program penanggulangan TB.
Hal itu ditegaskan Ketua Pamali TB (Perhimpunan Pasien dan Masyarakat Peduli Tuberkolosis)
Dr. dr Delyuzar, Sp.PA (K) dalam Diskusi Penanggulangan TB di Sumut dan Sosialisasi Piagam Hak dan Kewajiban Pasien (PHKP), Minggu (4/8/2024) di aula UPT RS Paru Prov Sumut di Medan.
Acara ini dihadiri berbagai tim percepatan penanggulangan TB seperti dr. M. Syaiful Sitompul, M. Kes (Persi), Dr. Sri Arini Winarti Rinawati, SKM. M.Kep (Direktur Poltekkes Kemenkes Medan), Dr Johani Dewita Nasution, SKM, M.Kes (Wakil dari PPNI), dr. Jefri S. M. Kes (Dir. UPT RS Khusus Paru Prov. Sumut), Dr. dr. Oke Rina Sp. A(K) (FK USU),
Dr. dr. Sake Juli Martina Sp. FK, FK USU yang juga sebagai moderator, Forwakes dan Khairina Ulfa, SKM, M. Kes, Samarayuda S. Psi (Pena bulu), IDAI, KAHMI serta lainnya.
Hal itu dilaksanakan dengan tujuan saling memberikan masukan dan mencari solusi untuk meningkatkan hasil penanggulangan TB di daerah ini.
“Tujuan dari acara ini adalah bagaimana kita bisa lebih baik lagi dalam kolaborasi. Kami berharap melalui forum ini, kita bisa saling mendengar, memberikan masukan, dan ada tempat-tempat untuk kita berkolaborasi,” ujar Delyuzar.
Menurutnya, acara ini juga penting untuk sosialisasi dengan media dan penyusunan penelitian tentang peran pemangku kepentingan, hambatan yang dihadapi, serta usulan dan perencanaan ke depan.
Dia pun mencontohkan bagaimana keberhasilan Desa Pasar Miring, Deli Serdang, hingga menjadikan desa tersebut bebas dari TB.
Bahkan, ada gelontoran anggaran dari dana desa untuk pemberian vitamin.
“Keberhasilan penanggulangan TB di Sumatera Utara harus bisa direplikasi di daerah lain. Kita perlu mempercepat upaya ini dan memastikan kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan komunitas,” kata Delyuzar.
Menurutnya lagi, Gubernur Sumatera Utara telah mengeluarkan SK untuk tim percepatan penanggulangan TB ini, yang bertujuan memperkuat kerjasama di lapangan.
“Kami perlu effort yang tidak bisa jalan sendiri. Harus ada dua komponen utama, pemerintah, yang bertanggung jawab dari aspek pendanaan, dan komunitas, yang melibatkan pemangku kepentingan masyarakat, pasien, organisasi profesi, dan media. Dengan berkolaborasi, kita bisa mencapai tujuan,” tegas Delyuzar.
Direktur Rumah Sakit Khusus Paru Dr. Jefri Suska menyampaikan rasa syukurnya atas kolaborasi yang terjalin antara rumah sakit dan lembaga komunitas TB dalam upaya penanggulangan Tuberkulosis (TB).
“Alhamdulillah, hari ini kita bekerja sama dengan lembaga komunitas TB. Rumah Sakit Paru menjadi tempat FGD atau forum diskusi untuk merencanakan bagaimana program bebas TB 2030 dapat tercapai,” ujar Jefri.
Dalam pertemuan tersebut, Jefri menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat umum dan mereka yang pernah menjalani pengobatan TB.
“Kegiatan ini tidak bergantung pada sekelompok organisasi saja, tapi melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Penting bagi mereka yang pernah menjalani pengobatan untuk tidak takut atau malu menyampaikan keluhan yang bisa berdampak merugikan diri sendiri maupun keluarga,” ujarnya.
“Mudah-mudahan apa yang disampaikan dalam pertemuan ini dapat tersampaikan keluar dan tidak hanya selesai sampai di sini saja,” harap Jefri.
Sementara itu, Direktur Poltekkes Medan, Sri Arini Winarti Rinawati, SKM. M.Kep, menyampaikan, pentingnya peran Poltekkes dalam mengawal program kesehatan di daerah sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Kesehatan.
Sri Arini menekankan bahwa Poltekkes Medan, bersama 38 Poltekkes lainnya di Indonesia, berperan penting dalam mendukung program kesehatan baik penyakit menular maupun tidak menular.
“Kami mengawal program ini melalui kurikulum yang mengintegrasikan mata kuliah mengenai penyakit-penyakit tersebut. Ini menjadi default yang diberikan kepada peserta didik secara generik. Selain itu, kami juga melaksanakan inter-professional education karena kami memiliki 7 jurusan atau calon tenaga kesehatan yang harus berkolaborasi sejak awal pendidikan,” ujar Sri Arini.
Sri Arini juga menjelaskan, kolaborasi ini tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan, tetapi juga dalam praktek lapangan dan komunitas. “Kami menjadi perpanjangan tangan dari kehadiran Kementerian Kesehatan, melaksanakan PKL di 9 kabupaten/kota,” ujarnya.
Menurutnya, potensi munculnya TB di Medan cukup tinggi, sehingga penting bagi mahasiswa untuk menjalani screening kesehatan yang komprehensif.
Sri Arini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pendidikan tinggi kesehatan di Sumatera Utara. “Kolaborasi ini memungkinkan kita untuk menggunakan media yang lebih modern dan mudah diterima oleh kalangan remaja. Dengan demikian, TB tidak lagi menjadi penyakit yang tabu untuk dibicarakan,” tuturnya.
“Kami berharap seluruh pendidikan tinggi kesehatan di Sumatera Utara bisa berkumpul dan bekerja sama untuk mengatasi TB. Kami siap untuk berperan aktif dalam upaya ini,” kata Sri Arini. (YS)