MEDAN (HARIANSTAR.COM) – Rasa takut yang selama ini membayangi kini berubah menjadi keberanian. Itulah yang tercermin dari Mahadi Pasaribu dan istrinya, Cut Rika Farido, pasangan suami istri (pasutri) lanjut usia berumur di atas 60 tahun, warga Jalan Sei Bertu No. 38, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru. Rumah tua yang telah mereka tempati puluhan tahun kini terancam dieksekusi, meski objek sengketa disebut penuh kejanggalan hukum.
Kuasa hukum Mahadi Pasaribu dan Cut Rika Farido, Dr. M. Sai Rangkuti, SH, MH, kepada wartawan, Kamis (11/12), mengatakan pihaknya sejak pagi telah menunggu kedatangan juru sita Pengadilan Negeri Medan yang akan melaksanakan eksekusi rumah kliennya. Padahal, menurut Sai, terdapat kesepakatan tertulis antara kliennya selaku tergugat dengan penggugat berinisial MSN, yang selama ini bahkan telah dianggap seperti anak oleh kedua pasutri tersebut.
Sai menjelaskan, tanah dan rumah yang kini disengketakan merupakan harta hibah dari orang tua Cut Rika Farido. Rumah tua itu bahkan telah ditempati Cut Rika sejak lahir. Namun secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan kliennya dan tanpa adanya transaksi jual beli, terbit Akta Jual Beli (AJB) Nomor 178/2009 tertanggal 8 Desember 2000, yang dibuat di hadapan seorang oknum notaris selaku PPAT berinisial O.
“Yang lebih ironis, rumah tersebut kini hendak dieksekusi oleh pengadilan atas permohonan penggugat MSN,” ujar Sai.
Perkara ini bermula pada tahun 2009, saat Mahadi Pasaribu dan Cut Rika Farido berniat mengembangkan usaha. Dalam proses tersebut, mereka berkenalan dengan seorang perempuan berinisial HP, warga Jalan Brigjen Katamso, Kecamatan Medan Maimun. HP kemudian mengajak kliennya bekerja sama mengajukan pinjaman bank dengan agunan sertifikat rumah tersebut.
Dalam proses pinjaman itu, dana sebesar Rp450 juta dicairkan. Namun, menurut Sai, kliennya hanya menerima Rp200 juta dan tetap melakukan pembayaran cicilan secara lancar. Seiring berjalannya waktu, usaha yang dijalankan tidak berjalan sesuai harapan sehingga cicilan mengalami kemacetan.
“HP kemudian menyampaikan ancaman bahwa jika cicilan tidak dilanjutkan, rumah klien kami akan disita,” jelas Sai.
Lebih lanjut, Sai mengungkapkan adanya dugaan bujuk rayu yang dilakukan HP, hingga kliennya diarahkan untuk mengalihkan objek tanah kepada MSN, yang juga diperkenalkan oleh HP. Setelah ditelusuri secara hukum, pihak kuasa hukum menegaskan tidak pernah ada transaksi jual beli yang dilakukan oleh kliennya.
“Karena itu kami menilai terdapat dugaan kuat perbuatan melawan hukum. Kami telah mengajukan gugatan terhadap HP dan MSN,” tegas Sai.
Selain gugatan, pihaknya juga telah mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua Pengadilan Negeri agar eksekusi ditunda. Hal ini didasarkan pada adanya kesepakatan damai yang dibuat para pihak pada tahun 2024.
“Kami menghormati putusan yang telah inkrah, namun kesepakatan para pihak juga harus dihormati. Dalam rapat koordinasi di Polrestabes Medan, hal ini sudah kami sampaikan, namun pemohon eksekusi MSN tidak hadir,” ungkapnya.
Sai menambahkan, kliennya justru menerima pemberitahuan pelaksanaan eksekusi sehari setelah rapat koordinasi tersebut.
Menurut Sai, jika dicermati Putusan Pengadilan Negeri Medan Kelas IA Khusus Nomor 540/Pdt.G/2019/PN Medan tanggal 6 Mei 2020, terdapat kelemahan mendasar. Ia menilai penggugat tidak pernah membuktikan alas hak kepemilikan secara sah, melainkan hanya menghadirkan somasi.
“Dalam teori hukum, penggugat wajib membuktikan dalil gugatannya. Jangan sampai eksekusi dilakukan tanpa bukti dan saksi yang sah. Kami berharap aparat penegak hukum menggunakan hati nurani dan menjunjung tinggi keadilan,” pungkas Sai. (IRW)



























