MEDAN (HARIANSTAR.COM) – Sampai dengan pertengahan tahun 2024, media sosial cukup banyak dipenuhi dengan beberapa berita yang menunjukkan upaya penarikan paksa kendaraan oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai debt collector.
Peristiwa ini mengingatkan masyarakat tentang maraknya aksi premanisme oleh oknum debt collector yang meresahkan dan sering kali melibatkan tindakan kekerasan serta intimidasi.
Insiden ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi telah menjadi fenomena yang cukup sering ditemui, mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam penanganan kredit macet oleh perusahaan pembiayaan.
“Eksekusi fidusia harus melalui proses hukum yang sah. Penarikan paksa tanpa prosedur legal adalah tindakan kriminal,” kata Sekretaris LBH Gelora Surya Keadilan dan tokoh pemuda, Tengku Fadli Iqbal, SH, Selasa (18/6/2024) di Jalan Kirana Medan.
Fadli menjelaskan, bahwa tindakan penarikan paksa kendaraan oleh debt collector merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang relevan antara lain, Pasal 365 KUHP Tentang pencurian dengan kekerasan, yang dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 12 tahun. Pasal 368 KUHP Tentang pemerasan, yang ancamannya hingga 9 tahun penjara. Pasal 335 KUHP Tentang perbuatan tidak menyenangkan, yang dapat dikenakan hukuman penjara hingga 1 tahun atau denda.
Selain itu, tindakan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang ini, eksekusi fidusia harus dilakukan dengan mekanisme tertentu yang melibatkan pihak berwenang, seperti juru sita atau balai lelang, dan harus mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Eksekusi fidusia, menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, adalah proses hukum yang memungkinkan kreditur mengambil kembali aset yang menjadi jaminan fidusia jika debitur gagal memenuhi kewajiban pembayaran. Namun, eksekusi ini harus dilakukan melalui jalur hukum yang sah yaitu 1. Permohonan ke Pengadilan. 2. Penetapan Eksekusi. 3. Pelaksanaan oleh Juru Sita.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH), memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak konsumen yang menjadi korban penarikan paksa oleh debt collector. LBH dapat memberikan bantuan hukum secara gratis atau dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkan.
Beberapa peran penting LBH meliputi penyuluhan hukum yaitu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hak-hak mereka terkait kredit dan eksekusi fidusia. Pendampingan Hukum yaitu mendampingi korban dalam proses hukum, mulai dari pelaporan ke polisi hingga pengadilan. Mediasi dan negosiasi yaitu membantu korban melakukan mediasi dan negosiasi dengan pihak kreditur untuk mencari solusi terbaik tanpa melibatkan kekerasan atau tindakan ilegal. Advokasi yakni melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan atau regulasi yang lebih melindungi konsumen dari praktik penagihan yang tidak manusiawi.
Masyarakat yang mengalami atau menyaksikan tindakan penarikan paksa oleh debt collector harus segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Langkah-langkah yang dapat diambil oleh masyarakat meliputi merekam kejadian, dokumentasikan insiden tersebut sebagai bukti. Menghubungi Polisi, segera laporkan kepada kepolisian untuk mendapatkan perlindungan dan penanganan hukum. Konsultasi hukum, meminta bantuan dari LBH atau pengacara untuk memastikan hak-hak hukum mereka terlindungi.
Penegakan hukum yang tegas dan adil akan memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memastikan bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum, dapat dihentikan secara efektif.
Penegakan hukum yang tegas juga harus disertai dengan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai hak-hak mereka terkait kredit dan eksekusi fidusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai prosedur hukum yang berlaku, masyarakat dapat melindungi diri dari tindakan ilegal dan melanggar hukum yang dilakukan oleh oknum debt collector.
Catatan penting untuk masyarakat bahwa, upaya penarikan paksa kendaraan oleh debt collector adalah tindakan yang ilegal dan melanggar hukum. Masyarakat harus berani melawan dan melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib untuk memastikan bahwa tindakan premanisme ini tidak terus berlanjut. Dengan penegakan hukum yang tegas dan dukungan dari LBH, diharapkan fenomena ini dapat diberantas dan hak-hak masyarakat terlindungi dengan baik. (RZ)