MEDAN (HARIANSTAR.COM) — Tingkat kemiskinan di Sumatera Utara mengalami kenaikan tipis pada periode September 2024 hingga Maret 2025. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di provinsi ini naik sebesar 0,17 persen poin, dari 7,19 persen menjadi 7,36 persen.
Statistisi Ahli Utama BPS Sumut, Drs Misfaruddin MSi, menjelaskan, peningkatan tersebut setara dengan tambahan sekitar 29,3 ribu jiwa penduduk miskin.
“Total penduduk miskin di Sumut per Maret 2025 mencapai 1.140.250 jiwa,” ujarnya saat memberikan keterangan di Kantor BPS Sumut, Jalan Asrama Medan.
Ia menyebutkan, meski terjadi kenaikan dibandingkan September 2024, bila ditarik ke belakang ke Maret 2024, angkanya justru turun sebesar 0,63 persen poin. Artinya, dalam jangka lebih panjang, tren kemiskinan masih menunjukkan kecenderungan menurun, meski diwarnai fluktuasi.
Misfaruddin memaparkan, peningkatan terjadi baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Di wilayah kota, angka kemiskinan naik dari 7,01 persen menjadi 7,10 persen, sementara di desa naik dari 7,44 persen menjadi 7,71 persen. Secara jumlah, penduduk miskin di perkotaan bertambah sekitar 12,8 ribu jiwa dan di perdesaan sekitar 16,6 ribu jiwa.
“Persentase kenaikannya masing-masing 0,09 persen poin untuk perkotaan dan 0,27 persen poin untuk perdesaan,” katanya.
Garis kemiskinan di Sumatera Utara juga meningkat menjadi Rp666.546 per kapita per bulan per Maret 2025. Kenaikan ini dipengaruhi oleh lonjakan harga-harga komoditas. Di kota, garis kemiskinan tercatat Rp694.542, dan di desa Rp630.844 per kapita per bulan.
Jika dibandingkan dengan September 2024, garis kemiskinan provinsi ini naik 2,81 persen. Secara komposisi, kebutuhan pangan masih mendominasi. Sebesar 76,49 persen dari garis kemiskinan dialokasikan untuk kebutuhan makanan (Rp509.871), sisanya 23,51 persen (Rp156.675) untuk non-makanan.
Tak hanya jumlah, kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,084 menjadi 1,126. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) meningkat dari 0,246 menjadi 0,263.
“Kenaikan ini mengindikasikan adanya pelebaran jarak antara rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Ketimpangan di antara penduduk miskin pun semakin melebar,” jelas Misfaruddin.
Secara historis, kata Misfaruddin, sejak Maret 2014 hingga Maret 2025, angka kemiskinan di Sumut cenderung menurun meskipun terjadi dua fase lonjakan. Fase pertama terjadi antara 2014-2015 karena kenaikan harga BBM yang memicu inflasi bahan pokok. Fase kedua dipicu oleh pandemi Covid-19 pada 2020.
“Kita sempat mencatat penurunan sejak Maret 2021 hingga September 2024. Namun pada Maret 2025 ini, kembali ada kenaikan,” ujarnya.
Misfaruddin menjelaskan, penghitungan penduduk miskin didasarkan pada rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
“Garis kemiskinan itu sendiri terus bergerak naik mengikuti harga pasar,” pungkasnya. (RED)