MEDAN (HARIANSTAR.COM) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh level 8.100 pada awal pekan ini sebelum akhirnya terkoreksi dan menutup perdagangan di posisi 7.915,66 poin. Koreksi sekitar 2,5 persen tersebut memicu kekhawatiran di kalangan investor ritel.
Namun, menurut Kepala Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara, Pintor Nasution, fenomena tersebut bukanlah sinyal negatif, melainkan bagian alami dari dinamika pasar yang dikenal sebagai profit taking atau aksi ambil untung.
“Profit taking adalah hal yang wajar dalam siklus pasar. Ketika harga saham sudah naik cukup tinggi, sebagian investor tentu ingin merealisasikan keuntungannya. Inilah yang menyebabkan indeks terkoreksi dalam jangka pendek, tapi secara fundamental pasar tetap sehat,” ujar Pintor Nasution di Medan, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, koreksi IHSG yang terjadi belakangan ini merupakan bentuk penyesuaian setelah periode penguatan panjang sejak awal bulan. Banyak pelaku pasar yang memanfaatkan momentum kenaikan harga untuk mengamankan cuan, terutama di saham-saham berkapitalisasi besar seperti sektor perbankan, material dasar, dan industri.
“Setelah rilis data ekonomi yang kuat dan indeks menembus rekor, wajar jika sebagian investor melakukan aksi ambil untung. Ini justru menunjukkan bahwa pasar kita semakin matang karena investor semakin disiplin dalam mengelola risiko dan keuntungan,” jelasnya.
Pintor menegaskan, investor tidak perlu panik menghadapi koreksi yang disebabkan oleh profit taking. Menurutnya, pasar saham seperti halnya manusia — tidak bisa berlari terus tanpa berhenti. “Pasar perlu menarik napas agar bisa berlari lebih jauh. Koreksi ini adalah momen penyeimbang sebelum bergerak lagi ke arah yang lebih stabil,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa koreksi seperti ini sering kali menjadi peluang beli (buying opportunity) bagi investor yang memiliki pandangan jangka panjang. “Selama fundamental emiten masih baik, koreksi harga justru bisa menjadi kesempatan untuk masuk kembali di level yang lebih menarik,” katanya.
Lebih lanjut, Pintor mengimbau agar investor ritel menjaga disiplin dan tidak terburu-buru mengambil keputusan berdasarkan emosi. “Banyak orang fokus pada kapan membeli, tapi lupa menentukan kapan harus menjual. Padahal menjual di waktu yang tepat sama pentingnya dengan membeli di harga murah,” ujarnya.
Ia menambahkan, aksi profit taking juga menunjukkan kedewasaan pasar modal Indonesia. Pasar yang selalu naik tanpa koreksi justru berisiko menimbulkan gelembung harga (bubble). “Koreksi karena profit taking adalah indikator pasar bekerja secara rasional. Investor mengambil untung, harga menyesuaikan, dan pelaku lain bisa masuk kembali dengan valuasi yang wajar,” jelasnya.
Pintor menutup dengan pesan agar investor tetap fokus pada nilai jangka panjang dan analisis fundamental. “Jangan takut pada koreksi selama fondasi ekonomi dan kinerja emiten masih solid. Pasar saham selalu memberi pelajaran bahwa setiap aksi ambil untung bukan akhir dari cerita, tapi bagian dari perjalanan menuju nilai sejatinya,” pungkasnya. (RED)



























