JAKARTA (HARIANSTAR.COM) – Institut Rumah Keadilan Indonesia (IRKI) menyesalkan insiden pembubaran kegiatan retret pelajar Kristen di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. IRKI menilai tindakan massa itu tidak hanya mencederai prinsip kebebasan beragama, tetapi juga mengancam kondisi mental anak-anak serta menciptakan ketidakpastian hukum dalam perlindungan warga negara.
“Peristiwa ini mencerminkan krisis penegakan hukum dalam menjamin kebebasan beragama dan perlindungan terhadap anak-anak,” ujar Koordinator IRKI, Fa’ahakho Dodo Zebua, kepada Wartawan di Blok M Plaza, Jakarta Selatan, Selasa, (01/07/25).
Kegiatan retret yang digelar di sebuah rumah singgah itu dibubarkan paksa oleh sejumlah warga. Video kejadian yang tersebar di media sosial menunjukkan adanya tekanan verbal terhadap peserta kegiatan, yang sebagian besar merupakan pelajar.
Kapolres Sukabumi membenarkan bahwa lokasi tersebut bukan gereja, melainkan tempat pembinaan rohani non-formal.
Namun, IRKI menilai pernyataan itu tidak cukup sebagai bentuk tanggung jawab negara. Fa’ahakho Dodo menegaskan bahwa negara tidak boleh tunduk pada tekanan mayoritas dalam soal perlindungan hak-hak konstitusional warga.
“Anak-anak ini mengalami intimidasi dalam kegiatan spiritual mereka. Ini bukan semata soal toleransi, melainkan soal rasa aman. Negara wajib hadir, bukan sekadar mendamaikan,” tuturnya.
Fa’ahakho Dodo Zebua mendesak aparat Kepolisian untuk bertindak lebih tegas. IRKI meminta agar para pelaku pembubaran dan perusakan segera diidentifikasi dan diproses hukum. Ia menekankan bahwa pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleran akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di daerah.
“Kepolisian jangan hanya meredam situasi, tapi harus menjamin keadilan. Tangkap dan proses hukum pelakunya. Jangan ada impunitas terhadap kekerasan atas nama mayoritas,” ucapnya.
Menurutnya, kegiatan retret tidak dapat disamakan dengan pendirian rumah ibadah sebagaimana diatur dalam SKB 2 Menteri. Karena itu, penggunaan alasan administrasi untuk membenarkan pembubaran acara keagamaan dinilai menyesatkan secara hukum.
“Retret bukan gereja. Ia tidak memerlukan izin rumah ibadah karena bersifat sementara dan internal. Kalau pendekatan hukumnya keliru, maka yang kita pertahankan bukan hukum, tapi ketakutan,” katanya.
IRKI juga menyoroti dampak psikologis terhadap para pelajar yang menjadi korban. Organisasi ini mendorong pemerintah daerah dan lembaga terkait untuk memberikan pendampingan psikologis kepada anak-anak yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
“Jangan anggap ini persoalan selesai karena sudah damai. Anak-anak ini perlu dipulihkan dari trauma sosial. Kita tidak bisa membiarkan generasi muda tumbuh dalam kecemasan dan rasa terancam karena keyakinannya,” tegas Fa’ahakho Dodo.
Hingga kini, pihak kepolisian belum mengumumkan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam insiden tersebut.
IRKI mengingatkan bahwa kepastian hukum bukan hanya menyangkut prosedur administratif, tetapi juga menyangkut rasa keadilan dan keberanian negara menegakkan hukum secara setara, tanpa memandang mayoritas atau minoritas.