Oleh : Puput Julianti Damanik
Di tengah denting musik tradisi dan gemuruh langkah penari yang memeriahkan Gelar Melayu Serumpun (Gemes) 2025, ada sepotong cerita hening yang tertinggal. Bukan soal panggung pertunjukan, melainkan bangunan tua yang menjadi latarnya. Dialah ikon kebanggaan Kota Medan, Istana Maimun.
“Sekarang ini saya tak berkesempatan lagi untuk masuk ke dalam Istana Maimun, tapi sebelumnya saya pernah masuk dan melihat kondisinya kurang baik,”
Hal ini disampaikan Mohd Fuad B Ismail, delegasi dari Majlis Bandaraya Ipoh, Malaysia kepada Harianstar sesaat sebelum pembukaan Gemes 2025 dimulai.
Fuad mengaku kunjungan tahun lalu sempat membawanya masuk ke dalam istana bersejarah itu. Namun tahun ini, tampaknya ia enggan mengulang langkah lamanya. “Saya lihat perlu ada pelestarian, perlu dipoles, supaya nampak lebih kemas, teratur. Itu penting untuk memberi kesan positif kepada wisatawan,” katanya.
Menurut Fuad bangunan istana maimun adalah bangunan bersejarah yang telah dikenal dunia, sehingga penting untuk terus dilestarikan. “Saya sudah tahu Istana Maimun daripada saya kecik lagi, Istana ini memang populer di kalangan wisatawan khususnya warga Ipoh, jadi amat penting melestarikannya untuk generasi kita juga yang akan datang,” ujar Fuad.
Kritik senada datang dari Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumatera Utara, Rahmad. Di hari yang sama dengan pembukaan Gemes, ia membawa rombongan wisatawan mancanegara berkunjung ke Istana Maimun. Alih-alih bangga, Rahmad justru menyampaikan keprihatinan.
“Kondisinya memprihatinkan. UMKM yang berjualan di dalam istana sangat mengganggu. Ini sudah pernah kami sampaikan, tapi sampai sekarang belum ada perubahan. Kebersihan juga jauh dari harapan,” ungkapnya di sela-sela kesibukan memandu turis.
Menurut Rahmad, pelestarian Istana Maimun tidak sebanding dengan nilai sejarah yang dimilikinya. Ketika budaya dilestarikan lewat festival, semestinya sejarah pun dirawat lewat tindakan nyata. “Kami mengapresiasi Gemes, ini ajang penting. Tapi pelestarian ikon sejarah seharusnya berjalan seiring,” tegasnya.
Gemes yang kini memasuki tahun ke-8 sejatinya bukan sekadar festival budaya. Ia adalah panggung persaudaraan Melayu serumpun, dari berbagai penjuru negeri dan negara. Namun, kemeriahan acara seolah kontras dengan wajah suram Istana Maimun yang seharusnya menjadi titik pusat kebanggaan.
Sementara itu, Neni warga Binjai yang turut hadir di malam pembukaan Gemes juga berharap Istana Maimun bisa mengembalikan auranya sebagai istana.
“Saya sering datang ke Istana Maimun bawa anak-anak jalan, malam ini kebetulan anak saya tampil jadi penari di pembukaan. Saya lihat di hari biasa Istana Maimun itu dipenuhi orang jualan, ciri khasnya udh gak nampak lagi, udah kayak pajak. Jadi gak nyaman karena terkalu banyak yang jualan, Saya harap bisa ditertibkan karena aura istananya udah gak nampak lagi,” ujar Neni.
Sultan Deli: Kelestarian Istana Maimun Masih Jadi PR
Sementara itu, Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam, mengungkapkan bahwa pengelolaan Istana Maimun hingga saat ini masih dilakukan secara mandiri oleh pihak yayasan. Ia mengakui, menjaga kelestarian bangunan bersejarah ini merupakan tantangan tersendiri bagi dirinya dan jajaran yayasan.
“Memang banyak yah ada yang kontroversial tapi saya tak sebutkan apa kontroversialnya. Intinya, yang mengelola Istana ini adalah yayasan. Kami rutin berdiskusi dengan yayasan mengenai berbagai hal, mulai dari pola pengelolaan hingga keuangan. Ini memang menjadi PR kami: bagaimana memastikan Istana Maimun tetap lestari ke depannya,” kata Sultan saat diwawancarai.
Saat ditanya mengenai bentuk perawatan yang dilakukan, Sultan menjelaskan secara sederhana. “Perawatannya, kalau catnya pudar ya dicat. Kalau ada kayu yang kropos, ya diganti,” ujarnya.
Lebih jauh, ka juga menyampaikan rencananya untuk mengembangkan kawasan sekitar menjadi destinasi terpadu melalui konsep “Segitiga Emas” yang meliputi Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Kolam Deli.
“Nanti ini coba kita gagas, supaya pamor Istana Maimun bisa naik lagi. Jadi orang yang mau salat bisa ke Masjid Raya, lalu melihat sejarah ke Istana Maimun, dan belanja produk UMKM di Kholam Deli. Ini masih gagasan, mohon doanya semoga bisa terwujud,” pungkasnya.m
Gelar Melayu Dorong Pariwisata Medan
Meski menuai sejumlah kritik, banyak pihak tetap memberikan apresiasi terhadap dampak positif acara Gemes 2025.
Pengelola Tip Top Restaurant, Bakery & Cake Shop, Didrikus Kelana, menyampaikan bahwa event ini membawa angin segar bagi dunia pariwisata, terutama di tengah menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara dalam beberapa tahun terakhir.
“Event seperti ini tentu membantu pariwisata Medan. Apalagi ada kunjungan dari negara-negara ASEAN seperti Malaysia. Meski saya belum bisa menilai seberapa besar dampaknya, tapi event-event internasional seperti ini pasti memberi efek positif,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan event yang berefek tersebut tidak hanya yang berpusat di Kota Medan penyelenggaraannya. “Seperti waktu di Danau Toba, itu terasa sekali efeknya. Untuk Gemes ini mungkin cukup banyak pengunjung dari Malaysia yah,” ujarnya.
Sementara itu, Mohd Fuad B. Ismail, delegasi dari Majlis Bandaraya Ipoh, Malaysia, mengaku sudah tiga tahun berturut-turut mengikuti agenda ini. Ia menilai penyelenggaraan Gemes menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
“Ini tahun ketiga kami mengikuti Gelar Melayu Serumpun. Kami sangat berbesar hati, karena di Medan ini kami merasa seperti di kampung sendiri. Tidak banyak perbedaan dengan Ipoh,” ungkapnya.
Meski sempat menuai kritik dan mengalami kekurangan, termasuk hujan deras yang mengguyur saat pembukaan, Gelar Melayu Serumpun (Gemes) 2025 tetap berhasil ditutup dengan senyum bahagia. Kemeriahan penampilan budaya dari berbagai delegasi, antusiasme masyarakat, dan semangat persaudaraan serumpun menjadi penutup manis yang membalut seluruh rangkaian acara. (PUT)